Home

Sunday, 6 July 2025

Assalamualaikum ...CINTA,

 Assalamualaikum ..

Mari kita  CINTA  " Sang Pencipta CINTA"  dan "KekasihNya" agar kita dapat menuai pahala di akhirat nanti. SEMOGA KITA BAHAGIA DGN ANUGERAHNYA.  

BERSIH ITU INDAH. 

SABAR ITU INDAH. 

 REDHO ITU INDAH.

Percayalah 2 keutuhan  CINTA ini menjadikan kita kuat...ALLAH dan RASUL.

Yaa...Eni Percaya Ya Robb.

AAMIIN. 

KENAPA MEREKA BERANI LAWAN ANWAR?

Iman menyebabkan masuk surga dan barang siapa menjalankan apa yang diperintahkan, niscaya ia akan masuk surga

 


2. Kitab Iman

Bab 4. Iman menyebabkan masuk surga dan barang siapa menjalankan apa yang diperintahkan, niscaya ia akan masuk surga

( HR.MUSLIM No:16 )

        Hadis riwayat Abu Hurairah ra.: Bahwa seorang badui datang menemui Rasulullah saw. lalu berkata: Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku suatu perbuatan yang apabila aku lakukan, aku akan masuk surga. Rasulullah saw. bersabda: Engkau beribadah kepada Allah tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu, mendirikan salat fardu, membayar zakat dan puasa Ramadan. Orang itu berkata: Demi Zat yang menguasai diriku, aku tidak akan menambah sedikit pun dan tidak akan menguranginya. Ketika orang itu pergi, Nabi saw. bersabda: Barang siapa yang senang melihat seorang ahli surga, maka lihatlah orang ini.

Dalil yang menunjukkan bahwa orang yang mati dalam keadaan menetapi tauhid, niscaya akan masuk surga

 2. Kitab Iman 

 Bab 10. Dalil yang menunjukkan bahwa orang yang mati dalam keadaan menetapi tauhid, niscaya akan masuk surga
( HR.MUSLIM No:41 )
        Hadis riwayat Ubadah bin Shamit ra., ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: Barang siapa mengucapkan: Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya dan bersaksi bahwa Nabi Isa as. adalah hamba Allah dan anak hamba-Nya, serta kalimat-Nya yang dibacakan kepada Maryam dan dengan tiupan roh-Nya, bahwa surga itu benar dan bahwa neraka itu benar, maka Allah akan memasukkannya melalui pintu dari delapan pintu surga mana saja yang ia inginkan.

Rahmat Berselawat

 

Rahmat Berselawat

Seluruh umat Muslimin terhutang budi kepada Nabi MuhammadSAW, selaku Rasul terakhir,merangkap Penghulu sekelian Rasul, baginda bertanggungjawab sepenuhnya memmembawa ajaran Islam ke seluruh dunia.kalau tidak kerana kesungguhan dan kegigihanusahanya maka sudah barang tentunikmat Islam ini tidak dapat kita kecapi.


     Setiap hutang mesti dibayar, lebih-lebih lagi hutang budi.  Sabda Nabi SAW, sesiapa yang menerima budi orang lainsama ada berupa harta benda,, ilmu pengetahuan atau lain-lain maka orang yang menerima budi itu disuruh membalasnya dengan sebarang yamng ada padanya.  Setidak-tidaknya berdoa untuk orang yang berbuat budi itu seberapa banyak yang ia fikir berpadanan dengan budi yang ia terima.  Orang yang tidak berbuat demikian  adalah orang yang tidak mengenang budi.
                                                                Berdosa


     Umat Islam seharusnya mengucapkan selawatkeatas Nabi Muhammad SAW pada setiap kali menyebut, menulis atau terdengar nama Nabi atau gantinamanya atau pangkat kerasulannya disebut orang.  Pendapat ini adalah pendapat sebahagian besar pengikut-pengikut mazhab Maliki, Hanafi,Syafie dan Hambali.


     Keempat-empat ini berpendapat sesiapa yang tidak berselawat kepada Nabi maka ia telah melakukan satu dosa.   Banyak hadith menjelaskan bahawa Rasullullah SAW memberi amaran ,iaitu sesiapa yang tidak berselawat kepada Nabi maka orang itu dikira sebagai sebakhil2 manusia  Dialah yang mendapat kehinaan dyang memalukan dan memuramkan mukanya.    Dialah yang beroleh kepayahan san kesusahan.  Dialah yang jauh dari rahmat Allah, dan dialah yang akan masuk kedalam neraka sekiranya tidak diampunkan dosanya kerana meninggalkan selawat ke atas Nabi.


     "Wahai orang yang beriman! Ucapkanlah selawat keatas Nabi dan berikanlah salam dengan sebaik-baiknya."  (Al Ahzab: 56)


     Sebenarnya amalan selawat ke atas Nabi itu mengandungi banyak kelebihannya...Antaranya:


                * Memperoleh rahmat Allah yang melimpah-limpah.  Sab Nabi SAW , sesiapa yang berselawat kepada ku satu kalinescaya Allah akan limpahkan 10 rahmat kepadanya dengan sebab sekali selawat.  Sebetulnya Rahmat Allah itu sangat penting, sebarang nikmat seperti ilmu pengetahuan, anak-anak , harta benda , pangkat atau kebesaran  jika tidak di sertai oleh rahmat maka akan bertukar menjadi  bala bencana atau kecelakaan.

              * Dapat duduk berdekatan dengan Nabi di Akhirat nanti.   Sabda Nabi SAW , sesungguhnya orang yang paling hampir dari kalangan kamu di Hari Kiamat di setiap tempat aku berada padanya ialah orang yang lebih banyak berselawat kepadaku di dunia.

                     * Beroleh syafaat daripada Nabi di akhirat nanti.  Sabda Nabi SAW , orang yang lebih berhak mendapat syafaatku di Hari Kiamat nanti ialah orang yang lebih banyak selawatnya kepadaku.

                     * Layak memperoleh selawat  malaikat yang sentiasa berselawat kepada Nabi, selama ia berselawat kepada Nabi SAW .  Sabda Nabi SAW , sesiapa yang berselawat kepadaku dengan satu selawat sentiasalah maalaikat berdoa untuknya selama ia berselawat kepadaku.

Jadikan kami bersabar saat di uji,

 Ya Allah,

Jadikan kami bersabar saat di uji, 
Bersyukur saat  diberi,
Memaafkan saat di zalimi,
Istighfar saat menyalahi dan bukakan pintu hati kami untuk  selalu dekat dengan Mu 
Aamiin.

Menyucikan hati,


 

Ustazah Muzayyanah Abdullah. Cinta yang Pudar

Kalau belum boleh BACA Quran, Jangan BERTANGGUH

Bertudung belum tentu masuk SYURGA tapi...

Kekayaan...,


 

Prof Dato Dr MAZA - Apa Punya Syaitan Zikir Terjerit-Jerit Melompat-Lomp...

Shalat adalah ibadah utama dalam Islam yang memiliki syarat dan aturan yang harus dijaga

 Shalat adalah ibadah utama dalam Islam yang memiliki syarat dan aturan yang harus dijaga. Namun, ada sejumlah hal yang bisa membatalkan shalat jika dilakukan, baik karena sengaja maupun lalai. Mempelajari pembatal shalat adalah bagian penting agar ibadah kita tidak sia-sia di hadapan Allah.

Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah berkata dalam Matan Taqrib,

وَالَّذِي يُبْطِلُ الصَّلَاةَ أَحَدَ عَشَرَ شَيْئًا

ٱلْكَلَامُ الْعَمْدُ، وَٱلْعَمَلُ ٱلْكَثِيرُ، وَٱلْحَدَثُ، وَحُدُوثُ ٱلنَّجَاسَةِ، وَٱنْكِشَافُ ٱلْعَوْرَةِ، وَتَغَيُّرُ ٱلنِّيَّةِ، وَٱسْتِدْبَارُ ٱلْقِبْلَةِ، وَٱلْأَكْلُ، وَٱلشُّرْبُ، وَٱلْقَهْقَهَةُ، وَٱلرِّدَّةُ.

Ada sebelas hal yang membatalkan shalat:

1. Berbicara dengan sengaja,

2. Melakukan gerakan yang banyak,

3. Berhadats,

4. Terkena najis,

5. Terbukanya aurat,

6. Berubahnya niat,

7. Berpaling dari arah kiblat,

8. Makan,

9. Minum,

10. Tertawa terbahak,

11. Keluar dari Islam (riddah).

 

Penjelasan

1. Berbicara dengan sengaja

Yaitu ucapan yang disengaja dan dapat digunakan untuk berkomunikasi dengan sesama manusia, baik berkaitan dengan kepentingan shalat maupun tidak.

Dalam hadits disebutkan,

كُنَّا نَتَكَلَّمُ فِي الصَّلَاةِ، يُكَلِّمُ أَحَدُنَا أَخَاهُ فِي حَاجَتِهِ، حَتَّى نَزَلَتْ هٰذِهِ الْآيَةُ:

حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَىٰ وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ

Dahulu, kami biasa berbicara dalam salat. Salah seorang dari kami berbincang dengan saudaranya tentang kebutuhannya. Hingga akhirnya turunlah ayat ini:

Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyuk.” (QS. Al-Baqarah: 238). Kami lantas diperintahkan untuk diam. (HR. Bukhari, no. 4260 dan Muslim, no. 539 dari Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu). Catatan: “qanitin” artinya adalah “dalam keadaan tunduk dan khusyuk”.

Dari Mu’awiyah bin Al-Hakam As-Sulami radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

إِنَّ هٰذِهِ الصَّلَاةَ لَا يَصْلُحُ فِيهَا شَيْءٌ مِنْ كَلَامِ النَّاسِ، إِنَّمَا هُوَ التَّسْبِيحُ وَالتَّكْبِيرُ وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ

“Sesungguhnya dalam shalat ini tidak pantas ada ucapan manusia. Yang ada hanyalah tasbih, takbir, dan membaca Al-Qur’an.” (HR. Muslim, no. 537)

Kedua dalil ini menegaskan bahwa berbicara dengan sengaja dalam shalat termasuk perkara yang membatalkan shalat, karena shalat merupakan ibadah khusus antara hamba dan Rabb-nya, yang tidak boleh dicampuri dengan urusan duniawi.

Penyebutan “dengan sengaja” dalam konteks ini bermaksud mengecualikan orang yang lupa, atau orang yang belum tahu bahwa hal itu dilarang karena baru masuk Islam. Demikian pula orang yang secara spontan mengucapkan sesuatu tanpa niat dan ucapannya tidak panjang, maka shalatnya tidak batal. Begitu juga jika tertawa secara tidak terkendali, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

رُفِعَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأُ، وَالنِّسْيَانُ، وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ

“Umatku dimaafkan ketika melakukan karena keliru, lupa, dan dipaksa.” (HR. Ibnu Majah dan lainnya).

Namun, jika seseorang dipaksa untuk berbicara dalam shalat, maka shalat tetap batal menurut pendapat yang paling kuat. Hal ini karena kasus seperti ini jarang terjadi, dan penjelasannya telah dibahas dalam syarat-syarat sahnya shalat.

2. Melakukan gerakan yang banyak

Yakni gerakan tubuh yang banyak dan berturut-turut seperti tiga langkah atau lebih, baik dilakukan dengan sengaja ataupun karena lupa.

Adapun gerakan yang banyak, seperti tiga langkah berturut-turut, atau pukulan yang jelas-jelas tidak ringan, maka itu membatalkan shalat. Tidak ada perbedaan antara dilakukan dengan sengaja atau karena lupa, sebagaimana ditegaskan oleh Imam An-Nawawi. Dasarnya adalah ijmak (kesepakatan ulama), karena gerakan yang banyak mengubah struktur shalat dan menghilangkan kekhusyukan, padahal kekhusyukan adalah inti dari ibadah shalat.

Dari penjelasan para ulama, disimpulkan bahwa gerakan ringan tidak membatalkan shalat, karena gerakan kecil bisa dimaklumi dalam kondisi tertentu. Selain itu, menjaga satu keadaan terus-menerus itu berat dilakukan, berbeda dengan ucapan yang bisa ditahan, karena itu shalat bisa batal hanya dengan satu kata, tapi tidak batal hanya karena satu langkah.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang menyentuh kerikil saat shalat:

إِنْ كُنْتَ فَاعِلًا فَوَاحِدَةٌ

“Kalau kamu memang harus melakukannya, maka sekali saja.” (HR. Muslim)

Beliau juga memerintahkan untuk menyingkirkan orang yang lewat di depan (saat shalat), membunuh ular dan kalajengking, dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma memutar orang dari kiri ke kanan, serta beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencubit kaki sahabat saat sujud, dan memberi isyarat kepada Jabir radhiyallahu ‘anhu. Semua ini diriwayatkan dalam hadits-hadits sahih.

3. Berhadats

Jika seseorang berhadats saat shalat (hadats kecil maupun besar), maka shalatnya batal, baik sengaja maupun lupa, apakah dia sudah tahu atau belum. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا فَسَا أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ، فَلْيَنْصَرِفْ، فَلْيَتَوَضَّأْ وَلْيُعِدْ صَلَاتَهُ

“Jika salah seorang dari kalian kentut saat shalat, maka hendaknya ia membatalkan shalat, berwudhu, dan mengulang shalatnya.” (HR. Abu Daud dan lainnya)

4. Terkena najis

Jika seseorang sengaja membiarkan najis yang tidak dimaafkan mengenai dirinya, maka shalatnya batal. Namun, jika najisnya dimaafkan—seperti membunuh kutu atau serangga kecil lainnya—maka tidak membatalkan shalat karena darahnya dimaafkan, sebagaimana dijelaskan oleh Al-Bandaniji.

Jika najis mengenai dirinya dan langsung dibersihkan (sebelum terlewat kadar minimal thumakninah), misalnya dengan menepisnya, maka shalat tidak batal karena sulitnya menghindari hal semacam itu dan tidak ada unsur kelalaian dari pihaknya. Ini berbeda dengan hadats, karena menjaga kesucian memerlukan waktu yang cukup.

5. Terbukanya aurat

Adapun jika aurat terbuka dengan sengaja, maka shalatnya batal meskipun segera ditutup kembali. Karena menutup aurat adalah syarat sah shalat, dan ketika ia membukanya dengan sengaja, maka sama saja dengan membatalkan shalat. Namun, jika aurat terbuka karena angin, lalu segera ditutup kembali (sebelum terlewat kadar minimal thumakninah), atau tali kain terlepas lalu segera dibetulkan, maka shalatnya tidak batal, sebagaimana dijelaskan dalam masalah najis tadi.

6. Berubahnya niat

Yaitu ketika seseorang berniat keluar dari shalat. Hal ini membatalkan karena niat adalah pengikat utama dalam shalat. Jika niat terputus, maka terputus pula ibadahnya.

Dalam masalah niat, ada beberapa rincian:

Pertama, jika seseorang memutuskan niat dalam shalat—misalnya ia berniat keluar dari shalat—maka shalatnya batal secara ijmak (kesepakatan ulama). Sebab, keberlangsungan niat merupakan syarat sah shalat, dan jika niat terputus, maka hilang pula pengikatnya. Hal ini berbeda dengan puasa, yang tidak batal hanya karena niat keluar, karena puasa termasuk bentuk meninggalkan sesuatu, bukan aktivitas fisik yang terus menerus seperti shalat.

Kedua, jika seseorang memindahkan niatnya dari satu shalat wajib ke shalat wajib lainnya, atau dari shalat wajib ke shalat sunnah, maka menurut pendapat yang paling sahih, shalatnya batal. Bahkan sebagian ulama secara tegas menyatakan batal.

Ketiga, jika seseorang bertekad untuk memutus shalat, misalnya pada rakaat pertama ia sudah berniat akan menghentikan shalat pada rakaat kedua, maka shalatnya batal saat itu juga. Karena kelanjutan niat adalah bagian dari syaratnya.

Keempat, jika seseorang ragu apakah akan melanjutkan shalat atau keluar darinya, maka shalatnya juga batal. Sebab, keberlangsungan niat yang menjadi cukup dalam shalat telah hilang karena keraguan ini. Imam al-Haramain mengatakan: “Aku tidak melihat adanya perbedaan pendapat dalam masalah ini.” Namun, keraguan yang sekadar terlintas di pikiran karena waswas, seperti yang terjadi pada orang yang sering ragu-ragu, maka tidak membatalkan shalat.

7. Berpaling dari arah kiblat

Jika seseorang membelakangi kiblat dalam shalat, maka shalatnya batal, sebagaimana jika ia berhadats. Karena syarat yang telah ditetapkan tidak terpenuhi.

8. Makan

9. Minum

10. Tertawa terbahak

Makan dan minum, karena jika puasa saja batal karenanya, padahal puasa tidak batal karena gerakan, maka shalat—yang lebih banyak gerakannya—lebih layak batal. Juga karena makan menunjukkan sikap berpaling dari ibadah, padahal tujuan dari ibadah fisik seperti shalat adalah memperbarui keimanan dan mengarahkan hati kepada Allah.

Ini jika dilakukan dengan sengaja. Namun jika lupa atau tidak tahu karena baru masuk Islam, maka tidak membatalkan, sebagaimana halnya puasa.

Bila yang dimakan sangat sedikit, maka tidak membatalkan. Qadhi Husain menyebutkan: “Jika yang dimakan kurang dari sebutir wijen, tidak membatalkan shalat.” Namun jika seukuran biji wijen atau lebih, terdapat dua pendapat, yang paling sahih: batal.

Minum disamakan dengan makan.

Tertawa terbahak membatalkan shalat jika disengaja, karena bertentangan dengan kekhusyukan dalam ibadah. Ini jika suara tertawanya jelas terdengar sampai dua huruf atau lebih. Jika tidak terdengar, maka tidak membatalkan karena tidak termasuk kategori “ucapan” (kalam).

11. Keluar dari Islam (riddah)

Riddah juga membatalkan shalat, karena secara otomatis membatalkan keislaman.

Contoh riddah dalam shalat:

  • Perbuatan, seperti sujud kepada berhala atau matahari.
  • Ucapan, seperti mencela Allah atau agama.
  • Keyakinan, seperti berpikir bahwa alam ini qadim (tidak diciptakan) lalu mempercayainya, atau meyakini bahwa shalat tidak wajib—maka kufur dan shalatnya batal.

Jangan anggap sepele gerakan, ucapan, atau niat saat shalat. Ketahui dan hindari hal-hal yang membatalkannya agar ibadah kita sah dan diterima. Mari jaga shalat dengan benar, penuh kekhusyukan dan ilmu.

 

Referensi:

  • Al-Bajuri, I. b. M. b. A. (2020). Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Syarh al-Allamah Ibn Qasim al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’. Jeddah: Dar al-Minhaj.
  • Al-Ghazzi, M. b. Q. (2023). Fath al-Qarib al-Mujib fi Syarh Alfazh at-Taqrib. Cairo: Dar Dhiya’.
  • Al-Hishni, M. b. ‘A. M. (2007). Kifayah al-Akhyar fi Hall Ghayah al-Ikhtishar. Jeddah: Dar al-Minhaj.
  • Al-Kamil Hamid, H. (2011). Al-Imta’ bi Syarh Matn Abi Syuja’ fi al-Fiqh asy-Syafi’i. Cairo: Dar al-Manar.

________

Ditulis pada Kamis sore, 25 Syawal 1446 H, 24 April 2025 di Darush Sholihin

Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal 

Ada lima waktu terlarang untuk shalat.

 Ada lima waktu terlarang untuk shalat.

Ini butuh dipahami supaya kita tidak melakukan shalat di sembarang waktu.

Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ صَلاَةَ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَرْتَفِعَ الشَّمْسُ ، وَلاَ صَلاَةَ بَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغِيبَ الشَّمْسُ

Tidak ada shalat setelah shalat Shubuh sampai matahari meninggi dan tidak ada shalat setelah shalat ‘Ashar sampai matahari tenggelam.” (HR. Bukhari, no. 586 dan Muslim, no. 827)

Dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

ثَلاَثُ سَاعَاتٍ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَنْهَانَا أَنْ نُصَلِّىَ فِيهِنَّ أَوْ أَنْ نَقْبُرَ فِيهِنَّ مَوْتَانَا حِينَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ بَازِغَةً حَتَّى تَرْتَفِعَ وَحِينَ يَقُومُ قَائِمُ الظَّهِيرَةِ حَتَّى تَمِيلَ الشَّمْسُ وَحِينَ تَضَيَّفُ الشَّمْسُ لِلْغُرُوبِ حَتَّى تَغْرُبَ

“Ada tiga waktu yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami untuk shalat atau untuk menguburkan orang yang mati di antara kami yaitu: (1) ketika matahari terbit (menyembur) sampai meninggi, (2) ketika matahari di atas kepala hingga tergelincir ke barat, (3) ketika matahari  akan tenggelam hingga tenggelam sempurna.”  (HR. Muslim, no. 831)

 

Imam Nawawi rahimahullah menyatakan, “Para ulama sepakat untuk shalat yang tidak punya sebab tidak boleh dilakukan di waktu terlarang tersebut. Para ulama sepakat masih boleh mengerjakan shalat wajib yang ada’an (yang masih dikerjakan di waktunya, pen.) di waktu tersebut.

Para ulama berselisih pendapat mengenai shalat sunnah yang punya sebab apakah boleh dilakukan di waktu tersebut seperti shalat tahiyatul masjid, sujud tilawah dan sujud syukur, shalat ‘ied, shalat kusuf (gerhana), shalat jenazah dan mengqadha shalat yang luput. Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa shalat yang masih punya sebab tadi masih boleh dikerjakan di waktu terlarang. …

Di antara dalil ulama Syafi’iyah adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengqadha shalat sunnah Zhuhur setelah shalat ‘Ashar. Berarti mengqadha shalat sunnah yang luput, shalat yang masih ada waktunya, shalat wajib yang diqadha masih boleh dikerjakan di waktu terlarang, termasuk juga untuk shalat jenazah.” (Syarh Shahih Muslim, 6: 100)

 

Waktu terlarang untuk shalat ada lima:

  • Dari shalat Shubuh hingga terbit matahari terbit.
  • Dari matahari terbit hingga matahari meninggi (kira-kira 15 menit setelah matahari terbit).
  • Ketika matahari di atas kepala tidak condong ke timur atau ke barat hingga matahari tergelincir ke barat.
  • Dari shalat Ashar hingga mulai tenggelam.
  • Dari matahari mulai tenggelam hingga tenggelam sempurna. (Lihat Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 2: 205)

Dari kesimpulan Imam Nawawi di atas, waktu terlarang untuk shalat hanya berlaku untuk shalat sunnah mutlak yang tidak punya sebab, sedangkan yang punya sebab masih dibolehkan.


Waktu-Waktu Shalat Sumber: Artikel: Muslim.or.id

  Daftar Isi

Sudah tahukah anda batasan waktu sholat wajib? Simak penjelasan lengkapnya di artikel berikut ini. Barakallahu fiikum.

Segala puji yang disertai pengagungan seagung-agungnya hanya milik Allah Subhanahu wa Ta’ala dan perendahan diri kita yang serendah-rendahnyanya hanya kita berikan kepadaNya Robbul ‘Alamin. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi was sallam.

Kaum muslimin sepakat bahwa shalat lima waktu harus dikerjakan pada waktunya, dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا

“Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu/wajib yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman”. [ QS. An Nisa’ (4) : 103]

Shalat Zhuhur

Secara bahasa Zhuhur berarti waktu Zawal yaitu waktu tergelincirnya matahari (waktu matahari bergeser dari tengah-tengah langit) menuju arah tenggelamnya (barat).

Shalat zhuhur adalah shalat yang dikerjakan ketika waktu zhuhur telah masuk. Shalat zhuhur disebut juga shalat Al Uulaa (الأُوْلَى) karena shalat yang pertama kali dikerjakan Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam bersama Jibril ‘Alaihis salam. Disebut juga shalat Al Hijriyah (الحِجْرِيَةُ) (Berdasarkan hadits riwayat Al Bukhori No. 541).

Awal Waktu Shalat Zhuhur

Awal waktu zhuhur adalah ketika matahari telah bergeser dari tengah langit menuju arah tenggelamnya (barat). Hal ini merupakan kesepakatan seluruh kaum muslimin, dalilnya adalah hadits Nabi Shollallahu ‘alaihi was sallam dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr rodhiyallahu ‘anhu,

وَقْتُ الظُّهْرِ إِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ وَكَانَ ظِلُّ الرَّجُلِ كَطُولِهِ مَا لَمْ يَحْضُرِ الْعَصْرُ……..

“Waktu Shalat Zhuhur adalah ketika telah tergelincir matahari (menuju arah tenggelamnya) hingga bayangan seseorang sebagaimana tingginya selama belum masuk waktu ‘Ashar……….” (HR. Muslim No. 612).

Akhir Waktu Shalat Zhuhur

Para ulama bersilisih pendapat mengenai akhir waktu zhuhur namun pendapat yang lebih tepat dan ini adalah pendapat jumhur/mayoritas ulama adalah hingga panjang bayang-bayang seseorang semisal dengan tingginya (masuknya waktu ‘ashar). Dalil pendapat ini adalah hadits Nabi Shollallahu ‘alaihi was sallam dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr rodhiyallahu ‘anhu di atas.

Catatan:

Waktu shalat zhuhur dapat diketahui dengan menghitung waktu yaitu dengan menghitung waktu antara terbitnya matahari hingga tenggelamnya maka waktu zhuhur dapat diketahui dengan membagi duanya.

Disunnahkan Hukumnya Menyegerakan Shalat Zhuhur di Awal Waktunya

Hal ini berdasarkan hadits Jabir bin Samuroh rodhiyallahu ‘anhu,

كَانَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- يُصَلِّى الظُّهْرَ إِذَا دَحَضَتِ الشَّمْسُ

“Nabi Shollallahu ‘alaihi was sallam biasa mengerjakan sholat zhuhur ketika matahari telah tergelincir” (HR. Muslim No. 618).

Disunnahkan Hukumnya Mengakhirkan Shalat Zhuhur Jika Sangat Panas

Hal ini berdasarkan hadits Nabi Shollallahu ‘alaihi was sallam,

كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا اشْتَدَّ الْبَرْدُ بَكَّرَ بِالصَّلاَةِ ، وَإِذَا اشْتَدَّ الْحَرُّ أَبْرَدَ بِالصَّلاَةِ

“Nabi Shollallahu ‘alaihi was sallam biasanya jika keadaan sangat dingin beliau menyegerakan shalat dan jika keadaan sangat panas/terik beliau mengakhirkan shalat” (HR. Bukhori No. 906 dan Muslim No. 615).

Batasan dingin berbeda-beda sesuai keadaan selama tidak terlalu panjang hingga mendekati waktu akhir shalat.

Baca Juga: Rukun Shalat

Shalat ‘Ashar

‘Ashar secara bahasa diartikan sebagai waktu sore hingga matahari memerah yaitu akhir dari dalam sehari.

Shalat ‘ashar adalah shalat ketika telah masuk waktu ‘ashar, shalat ‘ashar ini juga disebut shalat woshtho (الوُسْطَى).

Awal Waktu Shalat ‘Ashar

Jika panjang bayangan sesuatu telah semisal dengan tingginya (menurut pendapat jumhur ulama). Dalilnya adalah hadits Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam,

وَقْتُ الظُّهْرِ إِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ وَكَانَ ظِلُّ الرَّجُلِ كَطُولِهِ مَا لَمْ يَحْضُرِ الْعَصْرُ وَوَقْتُ الْعَصْرِ مَا لَمْ تَصْفَرَّ الشَّمْسُ…….

“Waktu Sholat Zhuhur adalah ketika telah tergelincir matahari (menuju arah tenggelamnya) hingga bayangan seseorang sebagaimana tingginya selama belum masuk waktu ‘ashar dan waktu ‘ashar masih tetap ada selama matahari belum menguning………” (HR. Muslim No. 612).

Akhir Waktu Shalat ‘Ashar

Hadits-hadits tentang masalah akhir waktu ‘ashar seolah-olah terlihat saling bertentangan.

  • Dalam hadits yang diriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah rodhiyallahu ‘anhu ketika Jibril ‘alihissalam menjadi imam bagi Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam,

جَاءَ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَام إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ زَالَتْ الشَّمْسُ فَقَالَ قُمْ يَا مُحَمَّدُ فَصَلِّ الظُّهْرَ حِينَ مَالَتْ الشَّمْسُ ثُمَّ مَكَثَ حَتَّى إِذَا كَانَ فَيْءُ الرَّجُلِ مِثْلَهُ جَاءَهُ لِلْعَصْرِ فَقَالَ قُمْ يَا مُحَمَّدُ فَصَلِّ الْعَصْرَ ثُمَّ مَكَثَ حَتَّى إِذَا غَابَتْ الشَّمْسُ……مَا بَيْنَ هَذَيْنِ وَقْتٌ كُلُّهُ

“Jibril mendatangi Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam ketika matahari telah tergelincir ke arah tenggelamnya kemudian dia mengatakan, “Berdirilah wahai Muhammad kemudian shola zhuhur lah. Kemudian ia diam hingga saat panjang bayangan seseorang sama dengan tingginya. Jibril datang kemudian mengatakan, “Wahai Muhammad berdirilah sholat ‘ashar lah”. Kemudian ia diam hingga matahari tenggelam………….diantara dua waktu ini adalah dua waktu sholat seluruhnya” (HR. Nasa’i No. 526, hadits ini dinilai shahih oleh Syaikh Al Albani rohimahullah dalam Al Irwa’ hal. 270/I).

  • Dalam hadits yang diriwayatkan dari sahabat Abdullah bin ‘Amr rodhiyallahu ‘anhu,

وَوَقْتُ الْعَصْرِ مَا لَمْ تَصْفَرَّ الشَّمْسُ

“Dan waktu ‘ashar masih tetap ada selama matahari belum menguning………” (HR. Muslim No. 612).

  • Hadits Nabi Shollallahu ‘alaihi was sallam yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah rodhiyallahu ‘anhu,

مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الْعَصْرِ قَبْلَ أَنْ تَغْرُبَ الشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ الْعَصْرَ

“Barangsiapa yang mendapati satu roka’at sholat ‘ashar sebelum matahari tenggelam maka ia telah mendapatkan sholat ‘ashar” (HR. Bukhori No. 579 dan Muslim No. 608).

Kompromi dalam memahami ketiga hadits yang seolah-olah saling bertentangan ini adalah :

Hadits tentang sholat Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam dan Jibril ‘Alaihissalam dipahami sebagai penjelasan tentang akhir waktu terbaik dalam melaksanakan sholat ‘ashar. Adapun hadits ‘Abdullah bin ‘Amr dipahami sebagai penjelasan atas waktu pelaksanaan sholat ‘ashar yang masih boleh. Sedangkan waktu hadits Abu Huroiroh sebagai penjelasan tentang waktu pelaksanaan sholat ‘ashar jika terdesak artinya makruh mengerjakan sholat ‘ashar pada waktu ini kecuali bagi orang yang memiliki udzur maka mengerjakan sholat ‘ashar pada waktu itu hukumnya tidak makruh. Allahu a’lam.

Disunnahkan Hukmnya Menyegerakan Sholat ‘Ashar

Hal ini berdasarkan hadits Nabi Shollallahu ‘alaihi was sallam yang diriwayatkan dari Sahabat Anas bin Malik rodhiyallahu ‘anhu,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يُصَلِّى الْعَصْرَ وَالشَّمْسُ مُرْتَفِعَةٌ حَيَّةٌ

“Rosulullah shollallahu ‘alaihi was sallam sering melaksanakan sholat ‘ashar ketika matahari masih tinggi” (HR. Bukhori No. 550 dan Muslim No. 621).

Sunnah ini lebih dikuatkan ketika mendung, hal ini berdasarkah hadits yang diriwayatkan dari Sahabat Abul Mulaih rodhiyallahu ‘anhu. Dia mengatakan,

كُنَّا مَعَ بُرَيْدَةَ فِى غَزْوَةٍ فِى يَوْمٍ ذِى غَيْمٍ فَقَالَ بَكِّرُوا بِصَلاَةِ الْعَصْرِ فَإِنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ « مَنْ تَرَكَ صَلاَةَ الْعَصْرِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ

Kami bersama Buraidah pada saat perang di hari yang mendung. Kemudian ia mengatakan, “Segerakanlah sholat ‘ashar karena Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam mengatakan, “Barangsiapa yang meninggalkan sholat ‘ashar maka amalnya telah batal” (HR. Bukhori No. 553).

Hadits ini juga menunjukkan betapa bahayanya meninggalkan sholat ‘ashar.

Shalat Maghrib

Secara bahasa maghrib berarti waktu dan arah tempat tenggelamnya matahari. Sholat maghrib adalah sholat yang dilaksanakan pada waktu tenggelamnya matahari.

Awal Waktu Sholat Maghrib

Kaum Muslimin sepakat awal waktu sholat maghrib adalah ketika matahari telah tenggelam hingga matahari benar-benar tenggelam sempurna.

Akhir Waktu Sholat Maghrib

Para ulama berselisih pendapat mengenai akhir waktu maghrib.

Pendapat pertama mengatakan bahwa waktu maghrib hanya merupakan satu waktu saja yaitu sekadar waktu yang diperlukan orang yang akan sholat untuk bersuci, menutup aurot, melakukan adzan, iqomah dan melaksanakan sholat maghrib. Pendapat ini adalah pendapat Malikiyah, Al Auza’i dan Imam Syafi’i. Dalil pendapat ini adalah hadits yang diriwayatkan dari Jabir ketika Jibril mengajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam sholat,

ثُمَّ جَاءَهُ لِلْمَغْرِبِ حِينَ غَابَتْ الشَّمْسُ وَقْتًا وَاحِدًا لَمْ يَزُلْ عَنْهُ فَقَالَ قُمْ فَصَلِّ فَصَلَّى الْمَغْرِبَ…..

“Kemudian Jibril mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi was sallam ketika matahari telah tenggelam (sama dengan waktu ketika Jibril mengajarkan sholat kepada Nabi pada hari sebelumnya) kemudian dia mengatakan, “Wahai Muhammad berdirilah laksanakanlah sholat maghrib………..” (HR. Nasa’i No. 526, hadits ini dinilai shahih oleh Al Albani rohimahullah dalam Al Irwa’ hal. 270/I).

Pendapat kedua mengatakan bahwa akhir waktu maghrib adalah ketika telah hilang sinar merah ketika matahari tenggelam. Pendapat ini adalah pendapatnya Sufyan Ats Tsauri, Imam Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, Mahzab Hanafi serta sebahagian mazhab Syafi’i dan inilah pendapat yang dinilai tepat oleh An Nawawi rohimahumullah. Dalilnya adalah hadits ‘Abdullah bin ‘Amr rodhiyallahu ‘anhu,

….وَقْتُ صَلاَةِ الْمَغْرِبِ مَا لَمْ يَغِبِ الشَّفَقُ…..

“Waktu sholat maghrib adalah selama belum hilang sinar merah ketika matahari tenggelam” (HR. Muslim No. 612).

Pendapat inilah yang lebih tepat Allahu a’lam.

Disunnahkan Menyegerakan Sholat Maghrib

Hal ini berdasarkan hadits Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam dari Sahabat ‘Uqbah bin ‘Amir rodhiyallahu ‘anhu,

لاَ تَزَالُ أُمَّتِى بِخَيْرٍ – أَوْ قَالَ عَلَى الْفِطْرَةِ – مَا لَمْ يُؤَخِّرُوا الْمَغْرِبَ إِلَى أَنْ تَشْتَبِكَ النُّجُومُ

“Umatku akan senantiasa dalam kebaikan (atau fithroh) selama mereka tidak mengakhirkan waktu sholat maghrib hingga munculnya bintang (di langit)” (HR. Abu Dawud No. 414 dll. dan dinilai shohih oleh Al Albani dalam Takhrij beliau untuk Sunan Ibnu Majah).

Baca Juga: Tips Khusyu’ dalam Shalat

Shalat ‘Isya’

‘Isya’ adalah sebuah nama untuk saat awal langit mulai gelap (setelah maghrib) hingga sepertiga malam yang awal. Sholat ‘isya’ disebut demikian karena dikerjakan pada waktu tersebut.

Awal Waktu Sholat ‘Isya’

Para ulama sepakat bahwa awal waktu sholat ‘isya’ adalah jika telah hilang sinar merah di langit.

Akhir Waktu Sholat ‘Isya’

Para ulama’ berselisih pendapat mengenai akhir waktu sholat ‘isya’.

Pendapat pertama mengatakan bahwa akhir waktu sholat ‘isya’ adalah sepertiga malam. Ini adalah pendapatnya Imam Syafi’i dalam al Qoul Jadid, Abu Hanifah dan pendapat yang masyhur dalam mazhab Maliki. Dalilnya adalah hadits ketika Jibril mengimami sholat Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,

….ثُمَّ جَاءَهُ لِلْعِشَاءِ حِينَ ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ الْأَوَّلُ…..

“……Kemudian Jibril mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi was sallam untuk melaksanakan sholat ‘isya’ ketika sepertiga malam yang pertama………..” (HR. Nasa’i No. 526, hadits ini dinilai shahih oleh Al Albani rohimahullah dalam Al Irwa’ hal. 270/I).

Pendapat kedua mengatakan bahwa akhir waktu sholat ‘isya’ adalah setengah malam. Inilah pendapatnya Sufyan Ats Tsauri, Ibnul Mubarok, Ishaq, Abu Tsaur, Mazhab Hanafi dan Ibnu Hazm rohimahumullah. Dalil pendapat ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin ‘Amr rodhiyallahu ‘anhu,

…وَقْتُ صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ الأَوْسَطِ….

“Waktu sholat ‘isya’ adalah hingga setengah malam” (HR. Muslim No. 612).

Pendapat ketiga mengatakan bahwa akhir waktu sholat ‘isya’ adalah ketika terbit fajar shodiq. Inilah pendapatnya ‘Atho’, ‘Ikrimah, Dawud Adz Dzohiri, salah satu riwayat dari Ibnu Abbas, Abu Huroiroh dan Ibnul Mundzir Rohimahumullah. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan dari Abu Qotadah rodhiyallahu ‘anhu,

…إِنَّمَا التَّفْرِيطُ عَلَى مَنْ لَمْ يُصَلِّ الصَّلاَةَ حَتَّى يَجِىءَ وَقْتُ الصَّلاَةِ الأُخْرَى….

“Hanyalah orang-orang yang terlalu menganggap remeh agama adalah orang yang tidak mengerjakan sholat hingga tiba waktu sholat lain” (HR. Muslim No. 681).

Pendapat yang tepat menurut Syaukani dalam masalah ini adalah akhir waktu sholat ‘isya’ yang terbaik adalah hingga setengah malam berdasarkan hadits ‘Abdullah bin ‘Amr sedangkan batas waktu bolehnya mengerjakan sholat ‘isya’ adalah hingga terbit fajar berdasarkan hadits Abu Qotadah. Sedangkan pendapat yang dinilai lebih kuat menurut Penulis Shahih Fiqh Sunnah adalah setengah malam jika hadits Anas adalah hadits yang tidak shohih.

Disunnahkan Mengakhirkan Sholat ‘Isya’

Hal ini berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,

لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِى لأَمَرْتُهُمْ أَنْ يُؤَخِّرُوا الْعِشَاءَ إِلَى ثُلُثِ اللَّيْلِ أَوْ نِصْفِهِ

“Jika sekiranya tidak memberatkan ummatku maka akan aku perintah agar mereka mengakhirkan sholat ‘isya’ hingga sepertiga atau setengah malam” (HR. Tirmidzi No. 167, Ibnu Majah No. 691, dinyatakan shohih oleh Al Albani di Takhrij Sunan Tirmidzi).

Akan tetapi hal ini tidak selalu dikerjakan Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam, sebagaimana dalam hadits yang lain,

وَالْعِشَاءُ أَحْيَانًا يُقَدِّمُهَا ، وَأَحْيَانًا يُؤَخِّرُهَا : إذَا رَآهُمْ اجْتَمَعُوا عَجَّلَ ، وَإِذَا رَآهُمْ أَبْطَئُوا أَخَّرَ

“Terkadang (Nabi) menyegerakan sholat isya dan terkadang juga mengakhirkannya. Jika mereka telah terlihat terkumpul maa segerakanlah dan jika terlihat (lambat datang ke masjid)” (HR. Bukhori No. 560, Muslim No. 233).

Dimakruhkan Tidur Sebelum Sholat ‘Isya’ dan Berbicara yang Tidak Perlu Setelahnya

Hal ini berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,

كَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَهَا وَالْحَدِيثَ بَعْدَهَا

“Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam membenci tidur sebelum sholat ‘isya’ dan melakukan pembicaraan yang tidak berguna setelahnya (HR. BukhoriNo. 568, Muslim No. 237)”.

Shalat Shubuh/Fajar

Fajar secara bahasa berarti cahaya putih. Sholat fajar disebut juga sebagai sholat shubuh dan sholat ghodah.

Fajar ada dua jenis yaitu fajar pertama (fajar kadzib) yang merupakan pancaran sinar putih yang mencuat ka atas kemudian hilang dan setelah itu langit kembali gelap.

Fajar kedua adalah fajar shodiq yang merupakan cahaya putih yang memanjang di arah ufuk, cahaya ini akan terus menerus menjadi lebih terang hingga terbit matahari.

Awal Waktu Sholat Shubuh/Fajar

Para ulama sepakat bahwa awal waktu sholat fajar dimulai sejak terbitnya fajar kedua/fajar shodiq.

Akhir Waktu Sholat Shubuh/Fajar

Para ulama juga sepakat bahwa akhir waktu sholat fajar dimulai sejak terbitnya matahari.

Disunnahkan Menyegerakan Waktu Sholat Shubuh/Fajar Pada Saat Keadaan Gholas (Gelap yang Bercampur Putih)

Jumhur ulama’ berpendapat lebih utama melaksanakan sholat fajar pada saat gholas dari pada melaksanakannya ketika ishfar (cahaya putih telah semakin terang). Diantara ulama yang berpendapat demikian adalah Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Ishaq dan Abu Tsaur rohimahumullah. Diantara dalil mereka adalah hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – غَزَا خَيْبَرَ ، فَصَلَّيْنَا عِنْدَهَا صَلاَةَ الْغَدَاةِ بِغَلَسٍ

“Sesungguhnya Rosulullah shallallahu ‘alaihi was sallam berperang pada perang Khoibar, maka kami sholat ghodah (fajar) di Khoibar pada saat gholas” (HR. Bukhori No. 371, Muslim No. 1365).

Demikianlah pembahasan singkat ini, mudah-mudahan bermanfaat. Amin

Baca Juga: Macam-macam Doa Iftitah

Diringkas dari Kitab Shohih Fiqh Sunnah karya Syaikh Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim hal. 237-249/I Cet. Maktabah Tauqifiyah, Kairo, Mesir

Sigambal, Sebelum Subuh, 10 Mei 2011 M.

Penulis: Aditya Budiman bin Usman
Artikel: Muslim.or.id

Berusahalah kiamulail nescaya kamu akan merasai nikmatnya,

  Monday, 18 August 2025     Berusahalah kiamulail nescaya kamu akan merasai nikmatnya. Semanis2 apa yg kita nikmati tidak lebih lazat dpd K...